Oleh: Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel) MARSAL ( Penghulu Muara Enim / Pemerhati Adat)
SETELAH dilakukan perubahan (amendemen) Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945, dampak dari perubahan sistem Pemerintahan, maka kedudukan Masyarakat Hukum Adat mendapat posisi di dalam konstitusi Republik Indonesia.
Hal tersebut dapat kita baca di dalam Pasal 18 B ayat 2 Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 berbunyi ” Negara mengakui kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional nya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang undang “.
Menindak lanjuti dari pengakuan hak konstitusional masyarakat adat yang merupakan hak dasar manusia, dapat kita telusuri di dalam Ketetapan Majelis Permusyawarahan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketetapan ini menegaskan bahwa pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat hukum adat merupakan bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hal tersebut dapat kita lihat pada Pasal 32 yang mengatakan :
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil sewenang wenang, selanjutnya Padal 41 disebut bahwa identitas Budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Tap MPR di atas telah diterjemahkan kedalam Undang Undang HAM No. 39 tahun 1999. Dan peraturan perundang undangan lainnya yang berkait satu sama lain, antara lain bisa kita telusuri sebagai berikut :
- Undang Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera.
- Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
- Undang Undang Nomor 5 tahun 1994 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Keanekaragaman Hayati.
Dalam Pasal 8 mengenai konservasi huruf j dikatakan…… menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi inovasi dan praktik praktik masyarakat asli (masyarakat adat) dan lokal mencerminkan gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapan nya secara lebih luas, dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik tersebut semacam itu dan mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan pengetahuan, inovasi inovasi dan praktik praktik semacam itu.
Selanjutnya dalam pasal 15 butir 4 dikatakan Akses atas sumber hayati bisa di berikan, harus atas dasar persetujuan bersama (terutama pemilik atas sumber daya).
Selain dalam Undang undang juga dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah misal Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 1999 tentang Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi.
Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 48 tahun 1999 tentangTim Pengkajian Kebijakan dan Peraturan Perundang undangan Dalam Rangka Pelaksanaan Landreform.
Pelaksana landreform sampai saat ini masih terdapat perbedaan konsep yang tajam pada pemerintah dengan masyarakat adat yang mengakui tanah adatnya merupakan wilayah prifat yang tidak boleh di kliem secara sepihak oleh negara sebagai hutan negara.
Khusus di Sumsel penentuan hak ulayat atau disebut tanah marga sekarang sangat sulit karena baik batas alam ataupun batas buatan sudah tidak dapat dipastikan lagi. Akibat pengaruh alamnya, yang mungkin saja sudah masuk ke dalam zona perkebunan para investor. Sehingga untuk menentukan batas batasnya perlu melibatkan minimal tiga pihak yaitu pemerintah, pengusaha dan masyarakat hukum adat sendiri yang didampingi oleh cerdik cendikiawan.